Budayakanlah Komentar yang Bermutu

Kamis, 16 September 2010

Mommy, mengapa Mommy tidak pernah kembali lagi…?

Dua puluh tahun yang lalu saya melahirkan seorang anak laki-laki,
wajahnya lumayan tampan namun terlihat agak bodoh. Sam, suamiku,
memberinya nama Eric. Semakin lama semakin nampak jelas bahwa anak ini
memang agak terbelakang. Saya berniat memberikannya kepada orang lain
saja.
Namun Sam mencegah niat buruk itu. Akhirnya terpaksa saya
membesarkannya juga. Di tahun kedua setelah Eric dilahirkan saya pun
melahirkan kembali seorang anak perempuan yang cantik mungil. Saya
menamainya Angelica. Saya sangat menyayangi Angelica, demikian juga
Sam. Seringkali kami mengajaknya pergi ke taman hiburan dan
membelikannya pakaian anak-anak yang indah-indah.

Namun tidak demikian halnya dengan Eric. Ia hanya memiliki beberapa
stel pakaian butut. Sam berniat membelikannya, namun saya selalu
melarangnya dengan dalih penghematan uang keluarga. Sam selalu
menuruti perkataan saya. Saat usia Angelica 2 tahun, Sam meninggal
dunia. Eric sudah berumur 4 tahun kala itu. Keluarga kami menjadi
semakin miskin dengan hutang yang semakin menumpuk. Akhirnya saya
mengambil tindakan yang akan membuat saya menyesal seumur hidup. Saya
pergi meninggalkan kampung kelahiran saya beserta Angelica. Eric yang
sedang tertidur lelap saya tinggalkan begitu saja. Kemudian saya
tinggal di sebuah gubuk setelah rumah kami laku terjual untuk membayar
hutang. Setahun, 2 tahun, 5 tahun, 10 tahun.. telah berlalu sejak
kejadian itu.
Saya telah menikah kembali dengan Brad, seorang pria dewasa. Usia
Pernikahan kami telah menginjak tahun kelima. Berkat Brad, sifat-sifat
buruk saya yang semula pemarah, egois, dan tinggi hati, berubah
sedikit demi sedikit menjadi lebih sabar dan penyayang. Angelica telah
berumur 12 tahun dan kami menyekolahkan dia di asrama putri sekolah
perawatan. Tidak ada lagi yang ingat tentang Eric dan tidak ada lagi
yang mengingatnya.
Tiba-tiba terlintas kembali kisah ironis yang terjadi dulu seperti
sebuah film yang diputar dikepala saya. Baru sekarang saya menyadari
betapa jahatnya perbuatan saya dulu.tiba-tiba bayangan Eric melintas
kembali di pikiran saya. Ya Eric, Mommy akan menjemputmu Eric. Sore
itu saya memarkir mobil biru saya di samping sebuah gubuk, dan Brad
dengan pandangan heran menatap saya dari samping. “Mary, apa yang
sebenarnya terjadi?”
“Oh, Brad, kau pasti akan membenciku setelah saya menceritakan hal
yang telah saya lakukan dulu.” aku menceritakannya juga dengan
terisak-isak. Ternyata Tuhan sungguh baik kepada saya. Ia telah
memberikan suami yang begitu baik dan penuh pengertian. Setelah tangis
saya reda, saya keluar dari mobil diikuti oleh Brad dari belakang.
Mata saya menatap lekat pada gubuk yang terbentang dua meter dari
hadapan saya. Saya mulai teringat betapa gubuk itu pernah saya
tinggali beberapa bulan lamanya dan Eric.. Eric…
Namun saya tidak menemukan siapapun juga di dalamnya. Hanya ada
sepotong kain butut tergeletak di lantai tanah. Saya mengambil seraya
mengamatinya dengan seksama… Mata mulai berkaca-kaca, saya mengenali
potongan kain tersebut sebagai bekas baju butut yang dulu dikenakan
Eric sehari-harinya. Saya sempat kaget sebab suasana saat itu gelap
sekali. Kemudian terlihatlah wajah orang itu yang demikian kotor.
Ternyata ia seorang wanita tua. Kembali saya tersentak kaget manakala
ia tiba-tiba menegur saya dengan suaranya yang parau.
“Heii…! Siapa kamu?! Mau apa kau kemari?!”
Dengan memberanikan diri, saya pun bertanya, “Ibu, apa ibu kenal
dengan seorang anak bernama Eric yang dulu tinggal di sini?”
Ia menjawab, “Kalau kamu ibunya, kamu sungguh tega, Tahukah kamu, 10
tahun yang lalu sejak kamu meninggalkannya di sini, Eric terus
menunggu ibunya dan memanggil, ‘Mommy…, mommy!’ Karena tidak tega,
saya terkadang memberinya makan dan mengajaknya tinggal Bersama saya.
Walaupun saya orang miskin dan hanya bekerja sebagai pemulung sampah,
namun saya tidak akan meninggalkan anak saya seperti itu! Tiga bulan
yang lalu Eric meninggalkan secarik kertas ini. Ia belajar menulis
setiap hari selama bertahun-tahun hanya untuk menulis ini untukmu…”
Saya pun membaca tulisan di kertas itu…
“Mommy, mengapa Mommy tidak pernah kembali lagi…? Mommy marah sama
Eric, ya? Mom, biarlah Eric yang pergi saja, tapi Mommy harus berjanji
kalau Mommy tidak akan marah lagi sama Eric. Bye, Mom…”
Saya menjerit histeris membaca surat itu. “Bu, tolong katakan…
katakan di mana ia sekarang? Saya berjanji akan meyayanginya sekarang!
Saya tidak akan meninggalkannya lagi, Bu! Tolong katakan..!!”
Brad memeluk tubuh saya yang bergetar keras.
“Nyonya, semua sudah terlambat. Sehari sebelum nyonya datang, Eric
telah meninggal dunia. Ia meninggal di belakang gubuk ini. Tubuhnya
sangat kurus, ia sangat lemah. Hanya demi menunggumu ia rela bertahan
di belakang gubuk ini tanpa ia berani masuk ke dalamnya. Ia takut
apabila Mommy-nya datang, Mommy-nya akan pergi lagi bila melihatnya
ada di dalam sana… Ia hanya berharap dapat melihat Mommy-nya dari
belakang gubuk ini… Meskipun hujan deras, dengan kondisinya yang
lemah ia terus bersikeras menunggu Nyonya di sana.”


SumberAliceya Phantomhive

Perjuangan Melawan Penyakit yang Tak Dapat Disembuhkan

Aku adalah seorang gadis yang sehat dan sangat bersemangat menjalani hidup. Setiap hari kurasakan sebagi anugrah terindah yang diberikan Tuhan kepadaku. Sejak kecil aku dikenal sebagai pribadi yang riang dan aktif, dan hal itulah yang menyebabkan aku mempunyai banyak teman yang selalu menyayangiku. Tetapi, saat menjalani tahun kedua di SMP, suatu kejadian aneh tiba-tiba menimpah diriku. Saat mengikuti lomba balap lari di sekolah, tiba-tiba aku merasakan pandangan buram dan berbayang walau hanya sekejap. Karenanya aku pun mengabaikan saja kejadian tersebut. Tetapi ternyata sejak saat itu, beberapa kali aku mengalami kejadian aneh seperti kakiku yang tiba-tiba saja tidak dapat digerakkan saat mengikuti acara mendaki gunung bersama dengan teman-teman seangkata di SD, tangan kanan yang tidak dapat diangkat dan digerakkan ketika hendak menyikat gigi di suatu pagi, hingga lidah yang terasa kelu dan tidak dapat digerakkan saat membaca di depan kelas ketika aku telah menginjak kelas 1 SMA. Kejadian-kejadian tersebut membuatku merasa cemas dan pada akhirnya aku berinisiatif untuk memeriksakan diri. Dokter yang memeriksa menyatakan bahwa tubuhku mengalami kegagalan sistem pergerakan otot yang mengakibatkan menurunnya kemampuan otot. Penyakit yang disebut tergolong parah itu lambat laun mulai semakin ganas menyerang tubuhku, hingga akhirnya pada kelas 3 SMA, aku pun memutuskan untuk berhenti dari sekolah dan kembali ke rumah. Sejak itu, aku menghabiskan hidupku dengan keluar masuk rumah sakit, menjalani berbagai macam pengobatan dan terapi karena sebenarnya penyakit ini tergolong penyakit langka dan pada saat itu belum ditemukan metode penyembuhan yang tepat. “Masa mudaku kuserahkan pada penyakit aneh tak bernama… “. 

Perlahan-lahan, aku pun kehilangan semangat untuk terus hidup karena kini hidupku sangat tergantung pada bantuan orang lain dengan kondisi yang seringkali berada di ambang antara hidup dan mati. “Konon, penyakit ini sudah ada sejak ratusan tahun yang lalu. Tapi… mengapa penyakit ini memilihku? Adakah harapan takdirku bisa diperbaiki?“ Selalu kupikirkan hal itu berulang-ulang sampai aku menangis terisak. Dalam keputusasaan, aku sering berharap bahwa lebih baik mati saja. Bahkan aku berulang kali mencoba untuk bunuh diri. Tetapi kenyataannya, dalam berbagai fase kehidupan yang sangat menyiksa, aku selalu berhasil untuk terus bertahan hidup. Lambat laun aku menyadari bahwa ada sesuatu dalam diriku yang menyuruh untuk tetap hidup, betapapun beratnya kehidupan yang harus ku jalani. Aku pun menyadari bahwa banyak sekali orang di sekitar yang selalu memberi semangat pada ku dan menginginkan agar aku tetap hidup. Ayah dan ibuku yang selalu menangis tiap malam memikirkanku, keluarga, teman-teman yang menyayangiku, bahkan dokter dan seluruh staf rumah sakit pun selalu berbuat yang terbaik dalam mengusahakan agar aku terus hidup. Akhirnya, aku pun sampai pada fase dimana aku telah dapat menerima keadaan ini dengan ikhlas dan mulai mencari tujuan hidup di dunia ini. Setelah selama sembilan tahun menghabiskan hidup di rumah sakit, kini aku mulai mencari kebahagiaanku sendiri dalam segala keterbatasan yang kupunya. Perjuangan hidupku pun terus berlanjut, dari perjuangan melawan penyakit yang telah merenggut masa mudaku, hingga perjuangan untuk mencari tempat bagi ku di dunia ini… “ Aku ingin terus maju, selangkah demi selangkah. Namun kekuatanku terbatas...”


Oleh: Aliceya Phantomhive

Sabtu, 11 September 2010

Yang Besar Bukanlah Aku Melainkan Gunung ini, Tapi Aku Sudah Mengalahkannya

Ilustrasi
Di suatu lembah, di pegunungan batu, hiduplah sekawanan domba yang bulunya putuh bagai awan dan halus bagai sutra, tapi entah kenapa seekor anak kambing gunung yang hitam pekat bagai Awan mendung, bisa tercampur dengan kawanan ini. Setiap hari si anak kambing ini selalu di ejek oleh para domba, mereka meneriakinya

"awan hitam,awan hitam
jangan turunkan hujan
saat kami bermain
dan tidak mengajakmu"

dan mereka tertawa

Waktu minum di sumber mata air, para domba ini berjajar dan tidak membuka cela untuk sang anak kambing, mereka hanya mengejeknya dengan berkata

"awan hitam,awan hitam
Ayo turunkan hujan
untuk kamu minum"

dan mereka tertawa sambil membiarkan kawanan yang lainnya minum sepuas hati

Saat mereka makan di padang rumput, para domba membuat pagar betis agar si anak kambing tidak bisa memakan rumput segar yang ada di tengah taman, Dia pun terpaksa memakan rumput kering di pinggir padang rumput

Sewaktu hujan turun, para domba jantan berdiri di mulut gua agar si anak kambing tidak bisa masuk kedalamnya dimana semua doba putih itu beristirahat dengan tenang dan kering, malahan mereka mengejeknya lagi

"awan hitam,awan hitam
hentikan saja hujannya"

dan mereka tertawa

Si anak kambing tau, dia tidak dapat hidup seperti ini, diapun pergi menuruni bukit untuk minum di pinggir sungai, sebelum dia minum, tiba-tiba seekor buaya lapar muncul di hadapannya dengan takut dia pun berkata

"Jangan makan aku, rasaku tidak enak seperti Awan Mendung" kata si anak kambing
"Seperti apa rasa awan mendung itu" sambung sang buaya
"mungkin seperti air"
"HOEK....!!! aku sudah puas menelan air"

si anak kambing bersyukur karna si buaya bodoh, dia pun minum dengan tenang, dan dengan bebas menyeberangi sungai untuk makan di padang rumput sebelah
dan setiap hari si buaya selalu bertanya

"apakah kau cerah hari ini ?"

dan sang anak kambing menjawab

"masih belum, lihatlah, warnaku masih hitam

sang buayapun enggan untuk memakannya

suatu hari, dia menemukan seekor anak srigala gunung yang terlika di balik semak-semak
"knapa kau ada di sini?" tanya anak kambing
"aku terpeleset dan jatuh kesini, bisakah kau membawaku kembali ke atas?? "sambung si anak srigala

"Bisa, asalkan kau tidak menggigitku atau mencakarku"

"tenang saja, Gigiku belum cukup panjang dan cakarku sudah patah saat terjatuh."

akhirnya karna rasa Iba, sang anak kambingpun menolongnya, sebelum sampai di puncak, si anak kambing bertanya

"apakah keluargamu di atas sana tidak akan memakanku?? "

"tidak, karna aku anak kesayangan mereka, jadi aku pasti bisa mengatasinya" jawab si anak srigala

tak lama kemudian, hujan lebat turun, mereka pun berteduh dan tertidur dalam sebuah gua tempat mereka berteduh. Beberapa saat kemudian, si anak kambing mendengar sesuatu, ternyata sudah terjadi banjir besar yang menenggelamkan lembah kawanan domba tadi

terdengar juga teriakan teriakan anak domaba yang berkata
"awan hitam, awan hitam
ajak aku naik"

teriakan para domba betina dan jantan yang berkata

"awan hitam, awan hitam
Hentikan hujannya"

seluruh kawanan doba itu mulai hanyut dan satu persatu dari mereka di lahap para buaya sungai yang haus darah
satu demi satu....
satu demi satu.....

hinga seluruhnya hilang tak berbekas
si anak kambing hanya terpaku melihat drama kematian itu

saat hujan redah, dia dan si anak srigala mulai memanjat lagi sehingga akhirnya mereka sampai di antara kawanan srigala dan dikepung oleh mereka

sang anak srigala pun meloncat dan berkata
"jangan makan Dia
Dia telah menyelamatkanku"
dan anak srigala ini pun menangis

tapi tangisannya tak bisa menolong penolongnya

kemudian, sang anak kambing tersenyum, dia lalu berlari dan terus berlari
meloncati batu-batuan sehingga dia sampai di puncak gunung

Dia tau, para buaya tidak akan memakannya
Dia tau, ejekan para domba tak bisa menyakitinya

Saat itu dia berkata

"Yang besar bukanlah aku
melainkan gunung ini dan aku sudah mengalahkannya"


di balik suka cita itu
di bagian tengah gunung yang gelap, sang anak srigala memandang ke puncak gunung
Saat cahaya bulan datang, dia mengira melihat sosok penyelamatnya, dia pun melolong sejadi jadinya

karna dia tau, air matanya tidak bisa membelanya
Dia berharap, sosok kecilnya dapat terlihat dari atas sana
dan suatu hari Dia yang berdiri di puncak akan memaafkan dirinya
Dan tersenyum tanpa kebencian di matanya