Budayakanlah Komentar yang Bermutu

Kamis, 16 September 2010

Mommy, mengapa Mommy tidak pernah kembali lagi…?

Dua puluh tahun yang lalu saya melahirkan seorang anak laki-laki,
wajahnya lumayan tampan namun terlihat agak bodoh. Sam, suamiku,
memberinya nama Eric. Semakin lama semakin nampak jelas bahwa anak ini
memang agak terbelakang. Saya berniat memberikannya kepada orang lain
saja.
Namun Sam mencegah niat buruk itu. Akhirnya terpaksa saya
membesarkannya juga. Di tahun kedua setelah Eric dilahirkan saya pun
melahirkan kembali seorang anak perempuan yang cantik mungil. Saya
menamainya Angelica. Saya sangat menyayangi Angelica, demikian juga
Sam. Seringkali kami mengajaknya pergi ke taman hiburan dan
membelikannya pakaian anak-anak yang indah-indah.

Namun tidak demikian halnya dengan Eric. Ia hanya memiliki beberapa
stel pakaian butut. Sam berniat membelikannya, namun saya selalu
melarangnya dengan dalih penghematan uang keluarga. Sam selalu
menuruti perkataan saya. Saat usia Angelica 2 tahun, Sam meninggal
dunia. Eric sudah berumur 4 tahun kala itu. Keluarga kami menjadi
semakin miskin dengan hutang yang semakin menumpuk. Akhirnya saya
mengambil tindakan yang akan membuat saya menyesal seumur hidup. Saya
pergi meninggalkan kampung kelahiran saya beserta Angelica. Eric yang
sedang tertidur lelap saya tinggalkan begitu saja. Kemudian saya
tinggal di sebuah gubuk setelah rumah kami laku terjual untuk membayar
hutang. Setahun, 2 tahun, 5 tahun, 10 tahun.. telah berlalu sejak
kejadian itu.
Saya telah menikah kembali dengan Brad, seorang pria dewasa. Usia
Pernikahan kami telah menginjak tahun kelima. Berkat Brad, sifat-sifat
buruk saya yang semula pemarah, egois, dan tinggi hati, berubah
sedikit demi sedikit menjadi lebih sabar dan penyayang. Angelica telah
berumur 12 tahun dan kami menyekolahkan dia di asrama putri sekolah
perawatan. Tidak ada lagi yang ingat tentang Eric dan tidak ada lagi
yang mengingatnya.
Tiba-tiba terlintas kembali kisah ironis yang terjadi dulu seperti
sebuah film yang diputar dikepala saya. Baru sekarang saya menyadari
betapa jahatnya perbuatan saya dulu.tiba-tiba bayangan Eric melintas
kembali di pikiran saya. Ya Eric, Mommy akan menjemputmu Eric. Sore
itu saya memarkir mobil biru saya di samping sebuah gubuk, dan Brad
dengan pandangan heran menatap saya dari samping. “Mary, apa yang
sebenarnya terjadi?”
“Oh, Brad, kau pasti akan membenciku setelah saya menceritakan hal
yang telah saya lakukan dulu.” aku menceritakannya juga dengan
terisak-isak. Ternyata Tuhan sungguh baik kepada saya. Ia telah
memberikan suami yang begitu baik dan penuh pengertian. Setelah tangis
saya reda, saya keluar dari mobil diikuti oleh Brad dari belakang.
Mata saya menatap lekat pada gubuk yang terbentang dua meter dari
hadapan saya. Saya mulai teringat betapa gubuk itu pernah saya
tinggali beberapa bulan lamanya dan Eric.. Eric…
Namun saya tidak menemukan siapapun juga di dalamnya. Hanya ada
sepotong kain butut tergeletak di lantai tanah. Saya mengambil seraya
mengamatinya dengan seksama… Mata mulai berkaca-kaca, saya mengenali
potongan kain tersebut sebagai bekas baju butut yang dulu dikenakan
Eric sehari-harinya. Saya sempat kaget sebab suasana saat itu gelap
sekali. Kemudian terlihatlah wajah orang itu yang demikian kotor.
Ternyata ia seorang wanita tua. Kembali saya tersentak kaget manakala
ia tiba-tiba menegur saya dengan suaranya yang parau.
“Heii…! Siapa kamu?! Mau apa kau kemari?!”
Dengan memberanikan diri, saya pun bertanya, “Ibu, apa ibu kenal
dengan seorang anak bernama Eric yang dulu tinggal di sini?”
Ia menjawab, “Kalau kamu ibunya, kamu sungguh tega, Tahukah kamu, 10
tahun yang lalu sejak kamu meninggalkannya di sini, Eric terus
menunggu ibunya dan memanggil, ‘Mommy…, mommy!’ Karena tidak tega,
saya terkadang memberinya makan dan mengajaknya tinggal Bersama saya.
Walaupun saya orang miskin dan hanya bekerja sebagai pemulung sampah,
namun saya tidak akan meninggalkan anak saya seperti itu! Tiga bulan
yang lalu Eric meninggalkan secarik kertas ini. Ia belajar menulis
setiap hari selama bertahun-tahun hanya untuk menulis ini untukmu…”
Saya pun membaca tulisan di kertas itu…
“Mommy, mengapa Mommy tidak pernah kembali lagi…? Mommy marah sama
Eric, ya? Mom, biarlah Eric yang pergi saja, tapi Mommy harus berjanji
kalau Mommy tidak akan marah lagi sama Eric. Bye, Mom…”
Saya menjerit histeris membaca surat itu. “Bu, tolong katakan…
katakan di mana ia sekarang? Saya berjanji akan meyayanginya sekarang!
Saya tidak akan meninggalkannya lagi, Bu! Tolong katakan..!!”
Brad memeluk tubuh saya yang bergetar keras.
“Nyonya, semua sudah terlambat. Sehari sebelum nyonya datang, Eric
telah meninggal dunia. Ia meninggal di belakang gubuk ini. Tubuhnya
sangat kurus, ia sangat lemah. Hanya demi menunggumu ia rela bertahan
di belakang gubuk ini tanpa ia berani masuk ke dalamnya. Ia takut
apabila Mommy-nya datang, Mommy-nya akan pergi lagi bila melihatnya
ada di dalam sana… Ia hanya berharap dapat melihat Mommy-nya dari
belakang gubuk ini… Meskipun hujan deras, dengan kondisinya yang
lemah ia terus bersikeras menunggu Nyonya di sana.”


SumberAliceya Phantomhive

Perjuangan Melawan Penyakit yang Tak Dapat Disembuhkan

Aku adalah seorang gadis yang sehat dan sangat bersemangat menjalani hidup. Setiap hari kurasakan sebagi anugrah terindah yang diberikan Tuhan kepadaku. Sejak kecil aku dikenal sebagai pribadi yang riang dan aktif, dan hal itulah yang menyebabkan aku mempunyai banyak teman yang selalu menyayangiku. Tetapi, saat menjalani tahun kedua di SMP, suatu kejadian aneh tiba-tiba menimpah diriku. Saat mengikuti lomba balap lari di sekolah, tiba-tiba aku merasakan pandangan buram dan berbayang walau hanya sekejap. Karenanya aku pun mengabaikan saja kejadian tersebut. Tetapi ternyata sejak saat itu, beberapa kali aku mengalami kejadian aneh seperti kakiku yang tiba-tiba saja tidak dapat digerakkan saat mengikuti acara mendaki gunung bersama dengan teman-teman seangkata di SD, tangan kanan yang tidak dapat diangkat dan digerakkan ketika hendak menyikat gigi di suatu pagi, hingga lidah yang terasa kelu dan tidak dapat digerakkan saat membaca di depan kelas ketika aku telah menginjak kelas 1 SMA. Kejadian-kejadian tersebut membuatku merasa cemas dan pada akhirnya aku berinisiatif untuk memeriksakan diri. Dokter yang memeriksa menyatakan bahwa tubuhku mengalami kegagalan sistem pergerakan otot yang mengakibatkan menurunnya kemampuan otot. Penyakit yang disebut tergolong parah itu lambat laun mulai semakin ganas menyerang tubuhku, hingga akhirnya pada kelas 3 SMA, aku pun memutuskan untuk berhenti dari sekolah dan kembali ke rumah. Sejak itu, aku menghabiskan hidupku dengan keluar masuk rumah sakit, menjalani berbagai macam pengobatan dan terapi karena sebenarnya penyakit ini tergolong penyakit langka dan pada saat itu belum ditemukan metode penyembuhan yang tepat. “Masa mudaku kuserahkan pada penyakit aneh tak bernama… “. 

Perlahan-lahan, aku pun kehilangan semangat untuk terus hidup karena kini hidupku sangat tergantung pada bantuan orang lain dengan kondisi yang seringkali berada di ambang antara hidup dan mati. “Konon, penyakit ini sudah ada sejak ratusan tahun yang lalu. Tapi… mengapa penyakit ini memilihku? Adakah harapan takdirku bisa diperbaiki?“ Selalu kupikirkan hal itu berulang-ulang sampai aku menangis terisak. Dalam keputusasaan, aku sering berharap bahwa lebih baik mati saja. Bahkan aku berulang kali mencoba untuk bunuh diri. Tetapi kenyataannya, dalam berbagai fase kehidupan yang sangat menyiksa, aku selalu berhasil untuk terus bertahan hidup. Lambat laun aku menyadari bahwa ada sesuatu dalam diriku yang menyuruh untuk tetap hidup, betapapun beratnya kehidupan yang harus ku jalani. Aku pun menyadari bahwa banyak sekali orang di sekitar yang selalu memberi semangat pada ku dan menginginkan agar aku tetap hidup. Ayah dan ibuku yang selalu menangis tiap malam memikirkanku, keluarga, teman-teman yang menyayangiku, bahkan dokter dan seluruh staf rumah sakit pun selalu berbuat yang terbaik dalam mengusahakan agar aku terus hidup. Akhirnya, aku pun sampai pada fase dimana aku telah dapat menerima keadaan ini dengan ikhlas dan mulai mencari tujuan hidup di dunia ini. Setelah selama sembilan tahun menghabiskan hidup di rumah sakit, kini aku mulai mencari kebahagiaanku sendiri dalam segala keterbatasan yang kupunya. Perjuangan hidupku pun terus berlanjut, dari perjuangan melawan penyakit yang telah merenggut masa mudaku, hingga perjuangan untuk mencari tempat bagi ku di dunia ini… “ Aku ingin terus maju, selangkah demi selangkah. Namun kekuatanku terbatas...”


Oleh: Aliceya Phantomhive

Sabtu, 11 September 2010

Yang Besar Bukanlah Aku Melainkan Gunung ini, Tapi Aku Sudah Mengalahkannya

Ilustrasi
Di suatu lembah, di pegunungan batu, hiduplah sekawanan domba yang bulunya putuh bagai awan dan halus bagai sutra, tapi entah kenapa seekor anak kambing gunung yang hitam pekat bagai Awan mendung, bisa tercampur dengan kawanan ini. Setiap hari si anak kambing ini selalu di ejek oleh para domba, mereka meneriakinya

"awan hitam,awan hitam
jangan turunkan hujan
saat kami bermain
dan tidak mengajakmu"

dan mereka tertawa

Waktu minum di sumber mata air, para domba ini berjajar dan tidak membuka cela untuk sang anak kambing, mereka hanya mengejeknya dengan berkata

"awan hitam,awan hitam
Ayo turunkan hujan
untuk kamu minum"

dan mereka tertawa sambil membiarkan kawanan yang lainnya minum sepuas hati

Saat mereka makan di padang rumput, para domba membuat pagar betis agar si anak kambing tidak bisa memakan rumput segar yang ada di tengah taman, Dia pun terpaksa memakan rumput kering di pinggir padang rumput

Sewaktu hujan turun, para domba jantan berdiri di mulut gua agar si anak kambing tidak bisa masuk kedalamnya dimana semua doba putih itu beristirahat dengan tenang dan kering, malahan mereka mengejeknya lagi

"awan hitam,awan hitam
hentikan saja hujannya"

dan mereka tertawa

Si anak kambing tau, dia tidak dapat hidup seperti ini, diapun pergi menuruni bukit untuk minum di pinggir sungai, sebelum dia minum, tiba-tiba seekor buaya lapar muncul di hadapannya dengan takut dia pun berkata

"Jangan makan aku, rasaku tidak enak seperti Awan Mendung" kata si anak kambing
"Seperti apa rasa awan mendung itu" sambung sang buaya
"mungkin seperti air"
"HOEK....!!! aku sudah puas menelan air"

si anak kambing bersyukur karna si buaya bodoh, dia pun minum dengan tenang, dan dengan bebas menyeberangi sungai untuk makan di padang rumput sebelah
dan setiap hari si buaya selalu bertanya

"apakah kau cerah hari ini ?"

dan sang anak kambing menjawab

"masih belum, lihatlah, warnaku masih hitam

sang buayapun enggan untuk memakannya

suatu hari, dia menemukan seekor anak srigala gunung yang terlika di balik semak-semak
"knapa kau ada di sini?" tanya anak kambing
"aku terpeleset dan jatuh kesini, bisakah kau membawaku kembali ke atas?? "sambung si anak srigala

"Bisa, asalkan kau tidak menggigitku atau mencakarku"

"tenang saja, Gigiku belum cukup panjang dan cakarku sudah patah saat terjatuh."

akhirnya karna rasa Iba, sang anak kambingpun menolongnya, sebelum sampai di puncak, si anak kambing bertanya

"apakah keluargamu di atas sana tidak akan memakanku?? "

"tidak, karna aku anak kesayangan mereka, jadi aku pasti bisa mengatasinya" jawab si anak srigala

tak lama kemudian, hujan lebat turun, mereka pun berteduh dan tertidur dalam sebuah gua tempat mereka berteduh. Beberapa saat kemudian, si anak kambing mendengar sesuatu, ternyata sudah terjadi banjir besar yang menenggelamkan lembah kawanan domba tadi

terdengar juga teriakan teriakan anak domaba yang berkata
"awan hitam, awan hitam
ajak aku naik"

teriakan para domba betina dan jantan yang berkata

"awan hitam, awan hitam
Hentikan hujannya"

seluruh kawanan doba itu mulai hanyut dan satu persatu dari mereka di lahap para buaya sungai yang haus darah
satu demi satu....
satu demi satu.....

hinga seluruhnya hilang tak berbekas
si anak kambing hanya terpaku melihat drama kematian itu

saat hujan redah, dia dan si anak srigala mulai memanjat lagi sehingga akhirnya mereka sampai di antara kawanan srigala dan dikepung oleh mereka

sang anak srigala pun meloncat dan berkata
"jangan makan Dia
Dia telah menyelamatkanku"
dan anak srigala ini pun menangis

tapi tangisannya tak bisa menolong penolongnya

kemudian, sang anak kambing tersenyum, dia lalu berlari dan terus berlari
meloncati batu-batuan sehingga dia sampai di puncak gunung

Dia tau, para buaya tidak akan memakannya
Dia tau, ejekan para domba tak bisa menyakitinya

Saat itu dia berkata

"Yang besar bukanlah aku
melainkan gunung ini dan aku sudah mengalahkannya"


di balik suka cita itu
di bagian tengah gunung yang gelap, sang anak srigala memandang ke puncak gunung
Saat cahaya bulan datang, dia mengira melihat sosok penyelamatnya, dia pun melolong sejadi jadinya

karna dia tau, air matanya tidak bisa membelanya
Dia berharap, sosok kecilnya dapat terlihat dari atas sana
dan suatu hari Dia yang berdiri di puncak akan memaafkan dirinya
Dan tersenyum tanpa kebencian di matanya

Rabu, 08 September 2010

Ilustrasi


Seorang professor diundang untuk berbicara di sebuah basis militer. Di sana , ia berjumpa dengan seorang prajurit yang tak mungkin dilupakannya, Ralph, penjemputnya di bandara. Setelah saling memperkenalkan diri, mereka menuju tempat pengambi lan bagasi.
Ketika berjalan keluar, Ralph sering menghilang. Banyak hal dilakukannya. Ia membantu seorang wanita tua yang kopornya jatuh dan terbuka, kemudian mengangkat dua anak kecil agar mereka dapat melihat sinterklas.


Ia juga menolong orang yang tersesat dengan menunjukkan arah yang benar. Setiap kali, ia kembali ke sisi sang professor dengan senyum lebar menghiasi wajahnya.


Dari mana Anda belajar melakukan semua hal itu ? tanya sang professor.


Melakukan apa ? tanya Ralph.


Dari mana Anda belajar untuk hidup seperti itu ? desak sang professor.


Oh, kata Ralph, selama perang ..... Saya kira, perang telah mengajari saya banyak hal.


Lalu ia menuturkan kisah perjalanan tugasnya di Vietnam. Juga tentang tugasnya saat membersihkan ladang ranjau, dan bagaimana ia harus menyaksikan satu persatu temannya tewas terkena ledakan ranjau di depan matanya.


Saya belajar untuk hidup di antara pijakan setiap langkah. katanya ......


Saya tidak pernah tahu, apakah langkah berikutnya adalah pijakan terakhir, sehingga saya belajar untuk melakukan segala sesuatu yang sanggup saya lakukan tatkala mengangkat dan memijakkan kaki serta mensyukuri langkah sebelumnya.


Setiap langkah yang saya ayunkan merupakan sebuah dunia baru, dan saya kira sejak saat itulah saya menjalani kehidupan seperti ini. Kelimpahan hidup tidak ditentukan oleh berapa lama kita hidup, tetapi sejauh mana kita menjalani kehidupan yang bermakna bagi orang lain.


Nilai manusia ......
tidak ditentukan dengan bagaimana ia mati, melainkan bagaimana ia hidup.
Kekayaan manusia bukan apa yang ia peroleh, melainkan apa yang telah ia berikan.
Selamat menikmati setiap langkah hidup Anda dan BERSYUKURLAH SETIAP SAAT .......
Banyak orang berpikir bagaimana mengubah dunia ini.
Hanya sedikit yang memikirkan bagaimana mengubah dirinya sendiri..








Sumber: OINOS

Selasa, 07 September 2010

Adik yang baik untuk Kakak yang baik

Aku dilahirkan di sebuah dusun pegunungan yang sangat terpencil. Hari demi hari, orang tuaku membajak tanah kering kuning, dan punggung mereka menghadap ke langit. Aku mempunyai seorang adik, tiga tahun lebih muda dariku. Suatu ketika, untuk membeli sebuah sapu tangan yang mana semua gadis di sekelilingku kelihatannya membawanya, aku mencuri lima puluh sen dari laci ayahku. Ayah segera menyadarinya. Beliau membuat adikku dan aku berlutut di depan tembok, dengan sebuah tongkat bambu ditangannya. “Siapa yang mencuri uang itu?” Beliau bertanya. Aku terpaku, terlalu takut untuk berbicara. Ayah tidak mendengar siapa pun mengaku, jadi Beliau mengatakan, “Baiklah, kalau begitu, kalian berdua layak dipukul!”
Dia mengangkat tongkat bambu itu tinggi-tinggi. Tiba-tiba, adikku mencengkeram tangannya dan berkata, “Ayah, aku yang melakukannya!”

Tongkat panjang itu menghantam punggung adikku bertubi-tubi. Ayah begitu marahnya sehingga ia terus-menerus mencambukinya sampai Beliau kehabisan nafas.

Sesudahnya, Beliau duduk di atas ranjang batu bata kami dan memarahi, “Kamu sudah belajar mencuri dari rumah sekarang, hal
memalukan apa lagi yang akan kamu lakukan di masa mendatang? Kamu layak dipukul sampai mati! Kamu pencuri tidak tahu malu!” Malam itu, ibu dan aku memeluk adikku dalam pelukan kami. Tubuhnya penuh dengan luka, tetapi ia tidak menitikkan air mata setetes pun. Di pertengahan malam itu, saya tiba-tiba mulai menangis meraung-raung. Adikku menutup mulutku dengan tangan kecilnya dan berkata, “Kak, jangan menangis lagi sekarang. Semuanya sudah terjadi.”

Aku masih selalu membenci diriku karena tidak memiliki cukup keberanian untuk maju mengaku. Bertahun-tahun telah lewat, tapi insiden tersebut masih kelihatan seperti baru kemarin. Aku tidak pernah akan lupa tampang adikku ketika ia melindungiku. Waktu itu, adikku berusia 8 tahun. Aku berusia 11.

Ketika adikku berada pada tahun terakhirnya di SMP, ia lulus untuk masuk ke SMA di pusat kabupaten. Pada saat yang sama, saya diterima untuk masuk ke sebuah universitas propinsi. Malam itu, ayah berjongkok di halaman, menghisap rokok tembakaunya, bungkus demi bungkus.
Saya mendengarnya memberengut, “Kedua anak kita memberikan hasil yang begitu baik… hasil yang begitu baik…” Ibu mengusap air matanya yang mengalir dan menghela nafas, “Apa gunanya? Bagaimana mungkin kita bisa membiayai keduanya sekaligus?” Saat itu juga, adikku berjalan keluar ke hadapan ayah dan berkata, “Ayah, saya tidak mau melanjutkan sekolah lagi, telah cukup membaca banyak buku. ” Ayah mengayunkan tangannya dan memukul adikku pada wajahnya. “Mengapa kau mempunyai jiwa yang begitu keparat lemahnya? Bahkan jika berarti saya mesti mengemis di jalanan saya akan menyekolahkan kamu berdua sampai selesai!” Dan begitu kemudian ia mengetuk setiap rumah di dusun itu untuk meminjam uang. Aku menjulurkan tanganku selembut yang aku bisa ke muka adikku yang membengkak, dan berkata, “Seorang anak laki-laki harus meneruskan sekolahnya; kalau tidak ia tidak akan pernah meninggalkan jurang kemiskinan ini.”

Aku, sebaliknya, telah memutuskan untuk tidak lagi meneruskan ke universitas.Siapa sangka keesokan harinya, sebelum subuh datang, adikku meninggalkan rumah dengan beberapa helai pakaian lusuh dan sedikit kacang yang sudah mengering. Dia menyelinap ke samping ranjangku dan meninggalkan secarik kertas di atas bantalku: “Kak, masuk ke universitas tidaklah mudah. Saya akan pergi mencari kerja dan mengirimimu uang.” Aku memegang kertas tersebut di atas tempat tidurku, dan menangis dengan air mata bercucuran sampai suaraku hilang. Tahun itu, adikku berusia 17 tahun. Aku 20. Dengan uang yang ayahku pinjam dari seluruh dusun, dan uang yang adikku hasilkan dari mengangkut semen pada punggungnya di lokasi konstruksi, aku akhirnya sampai
ke tahun ketiga (di universitas).

Suatu hari, aku sedang belajar di kamarku, ketika teman sekamarku masuk dan memberitahukan, “Ada seorang penduduk dusun menunggumu di luar sana! “Mengapa ada seorang penduduk dusun mencariku? Aku berjalan keluar, dan melihat adikku dari jauh, seluruh badannya kotor tertutup debu semen dan pasir. Aku menanyakannya, “Mengapa kamu tidak bilang pada teman sekamarku kamu adalah adikku?” Dia menjawab, tersenyum, “Lihat bagaimana penampilanku. Apa yang akan mereka pikir jika mereka tahu saya adalah adikmu? Apa mereka tidak akan menertawakanmu?” Aku merasa terenyuh, dan air mata memenuhi mataku. Aku menyapu debu-debu dari adikku semuanya, dan tersekat-sekat dalam kata-kataku, “Aku tidak perduli omongan siapa pun! Kamu adalah adikku apa pun juga!

Kamu adalah adikku bagaimana pun penampilanmu…” Dari sakunya, ia mengeluarkan sebuah jepit rambut berbentuk kupu-kupu. Ia memakaikannya kepadaku, dan terus menjelaskan, “Saya melihat semua gadis kota memakainya. Jadi saya pikir kamu juga harus memiliki satu.” Aku tidak dapat menahan diri lebih lama lagi. Aku menarik adikku ke dalam pelukanku dan menangis dan menangis. Tahun itu, ia berusia 20. Aku 23.

Kali pertama aku membawa pacarku ke rumah, kaca jendela yang pecah telah diganti, dan kelihatan bersih di mana-mana. Setelah pacarku pulang, aku menari seperti gadis kecil di depan ibuku. “Bu, ibu tidak perlu menghabiskan begitu banyak waktu untuk membersihkan rumah kita!”

Tetapi katanya, sambil tersenyum, “Itu adalah adikmu yang pulang awal untuk membersihkan rumah ini. Tidakkah kamu melihat luka pada tangannya? Ia terluka ketika memasang kaca jendela baru itu..”
Aku masuk ke dalam ruangan kecil adikku. Melihat mukanya yang kurus, seratus jarum terasa menusukku. Aku mengoleskan
sedikit saleb pada lukanya dan mebalut lukanya. “Apakah itu sakit?” Aku menanyakannya. “Tidak, tidak sakit. Kamu tahu, ketika saya bekerja di lokasi konstruksi, batu-batu berjatuhan pada kakiku setiap waktu. Bahkan itu tidak menghentikanku bekerja dan…” Ditengah kalimat itu ia berhenti. Aku membalikkan tubuhku memunggunginya, dan air mata mengalir deras turun ke wajahku.

Tahun itu, adikku 23. Aku berusia 26.
Ketika aku menikah, aku tinggal di kota. Banyak kali suamiku dan aku mengundang orang tuaku untuk datang dan tinggal bersama kami, tetapi mereka tidak pernah mau. Mereka mengatakan, sekali meninggalkan dusun, mereka tidak akan tahu harus mengerjakan apa. Adikku tidak setuju juga, mengatakan, “Kak, jagalah mertuamu aja. Saya akan menjaga ibu dan ayah di sini.” Suamiku menjadi direktur pabriknya. Kami menginginkan adikku mendapatkan pekerjaan sebagai manajer pada departemen pemeliharaan. Tetapi adikku menolak tawaran tersebut.

Ia bersikeras memulai bekerja sebagai pekerja reparasi. Suatu hari, adikku di atas sebuah tangga untuk memperbaiki sebuah kabel, ketika ia mendapat sengatan listrik, dan masuk rumah sakit. Suamiku dan aku pergi menjenguknya. Melihat gips putih pada kakinya, saya menggerutu, “Mengapa kamu menolak menjadi manajer? Manajer tidak akan pernah harus melakukan sesuatu yang berbahaya seperti ini. Lihat kamu sekarang, luka yang begitu serius. Mengapa kamu tidak mau mendengar kami sebelumnya?”

Dengan tampang yang serius pada wajahnya, ia membela keputusannya. “Pikirkan kakak ipar–ia baru saja jadi direktur, dan saya hampir tidak berpendidikan. Jika saya menjadi manajer seperti itu, berita seperti apa yang akan dikirimkan?” Mata suamiku dipenuhi air mata, dan kemudian keluar kata-kataku yang sepatah-sepatah, “Tapi kamu kurang pendidikan juga karena aku!”
“Mengapa membicarakan masa lalu?” Adikku menggenggam tanganku. Tahun itu, ia berusia 26 dan aku 29. Adikku kemudian berusia 30 ketika ia menikahi seorang gadis petani dari dusun itu. Dalam acara pernikahannya, pembawa acara perayaan itu bertanya kepadanya, “Siapa yang paling kamu hormati dan kasihi?” Tanpa bahkan berpikir ia menjawab, “Kakakku.”

Ia melanjutkan dengan menceritakan kembali sebuah kisah yang bahkan tidak dapat kuingat. “Ketika saya pergi sekolah SD, ia berada pada dusun yang berbeda. Setiap hari kakakku dan saya berjalan selama dua jam untuk pergi ke sekolah dan pulang ke rumah. Suatu hari, saya kehilangan satu dari sarung tanganku. Kakakku memberikan satu dari kepunyaannya. Ia hanya memakai satu saja dan berjalan sejauh itu. Ketika kami tiba di rumah, tangannya begitu gemetaran karena cuaca yang begitu dingin sampai ia tidak dapat memegang sendoknya. Sejak hari itu, saya bersumpah, selama saya masih hidup, saya akan menjaga kakakku dan baik kepadanya.”

Tepuk tangan membanjiri ruangan itu. Semua tamu memalingkan perhatiannya kepadaku. Kata-kata begitu susah kuucapkan keluar bibirku, “Dalam hidupku, orang yang paling aku berterima kasih adalah adikku.” Dan dalam kesempatan yang paling berbahagia ini, di depan kerumunan perayaan ini, air mata bercucuran turun dari wajahku seperti sungai.

Bisakah kita memiliki jiwa besar seperti si adik yang seperti dalam cerita, … tapi bagaimanapun, yang namanya Saudara patut kita jaga dan kita hormati, apakah itu seorang adik atau seorang kakak. Karena apa arti hidup kalau tidak bisa membahagiakan sodara dan keluarga kita


Dari berbagai sumber
salah satunya OINOS (Anggur Baru)

Senin, 06 September 2010

Pilihan yang Salah dengan Alasan Yang Benar

Alkisah, ada seorang pengusaha kayaraya yang hidup bersama Istri dan seorang anaknya yang berumur 7 tahun.


Si bapak bekerja sebagai seorang pengusaha di bidang Textil, dan sang Ibu bekerja di perusahaan Roti yang nota benenya juga merupakan milik keluarga ini, saking kayanya eluarga ini, anak mereka mampu bersekolah di sebuah Sekolah Internasional yang sangat terkenal di daerah mereka tinggal


Suatu hari, Saat mereka sedang makan bersama di ruang makan mereka, tiba-tiba pembantu mereka mendengar suara letusan yang belakangan di ketahui berasal dari terjadinya arus pendek yang berakibat fatal dimana arus pendek ini diikuti sebuah Kilatan yang kemudian menjadi api yang berkobar



Tentu saja tidak sulit bagi sang "Jago Merah" untuk melahap rumah mereka, dengan berbagai Usaha, akhirnya sang bapak berhasil keluar, Sayangnya anak dan Istrinya tertinggal. Saat ia berusaha masuk kembali ke rumahnya, sebuah penopang atap mereka roboh dan tepat mengenai tangan kanannya, tapi itu tidak mengendorkan sang bapak, dia tetap berusaha sekuat mungkin, sehingga dia menemukan Anak dan Istrinya terkulai lemas di lantai karna terlalu banyak menghisap asap


Sang Bapak bingung, dalam hatinya Iya bertanya


"Siapa yang harus aku selamatkan?"
"Anakku yang baru berusia 7 tahun"
"atau istriku yang telah menemaniku selama 8 tahun"


dan entah apa yang terlintas di pikiran bapak ini, tiba-tiba saja dia mengangkat tubuh istrinya dengan tangan kirinya dan terpaksa meninggal kan Anaknya, karna tangan kanannya hampir tidak bisa bergerak akibat terkena penopang atap tadi.


Bapak ini pun keluar dari rumah yang masih berkobar itu dengan membawa serta tubuh istrinya yang pingsan sambil menangis karna dia tau, Anaknya telah tiada. Setelah kejadian itu, mayat anaknya di temukan hangus di antara serpihan-serpihan hangus dari rumah itu.


kemudian, cerita ini menyebar melalui hampir semua Media masa


20 Tahun kemudian.....


Sang bapak sudak berkeriput, tangan kanannya yang dulu hampir patah karna peris tiwa kebakaran itu, kini sudah membaik, sang ibu juga sudah berkeriput dan sudah sering sakit-sakitan, tapi mereka sudah memiliki anak lagi yang sekarang berumur 17 tahun. Yah, memang setelah kejadian kebakaran itu, keluarga mereka jatuh miskin di karenakan hampir seluruh arsip saham dan kpemilikan perusahaan mereka hangus di lahap si "Jago Merah"


di Suatu sore, sang bapak sedang duduk di depan Gubuk reotnya. Tiba tiba seorang Profesor di bidang pisikologi datang menghampirinya, sang Bapak kaget, namun akhirnya sang Profesor menjelaskan maksud kedatangannya. Menurut sang Profesor, dia datang untuk bertanya kepada bapak ini


"Bapak, saya ingin bertanya, Kenapa bapak pada saat terjadi kebakaran malah menyelamatan menyelamatkan Istri bapak?"
"bukannya menyelamatkan Anak bapak yang baru berumur Tujuh tahun kenapa....."


"STOP" teriak yang bapak dengan suara lantang
rupanya bapak ini tidak tahan mendengar ocehan sang dokter


lalu sang bapak pun mulai menjawab
" Anak ku, berhentilah bertanya seperti itu"  kata sang bapak dengan tenang
" Aku ini sudah tua, san aku sudah menjawab pertanyaan seperti itu sejak 20 tahun terakhir ini"
" Jawabannya sederhana saja"


lalu sang kakek mengambil napas panjang dan berkata


" Anak ku, Dengan seorang Istri kau dapat membuat seorang anak"
" Tapi dengan seorang Anak, kau tidak akan bisa Membuat seorang Istri "


Mendengar pernyataan itu, sanga Profesor pun terdiam dan hanya dapat saling memandang dengan sang kakek


SEKIAN

Minggu, 05 September 2010

Hargailah "Hidup" saat Kamu Masih Memilikinya

Halo para Reader sekalian
ini adalah postingan ke tiga dari blog ini
langsung saja yah...




Ini adalah Kisah.....
Kisah seorang gadis yatim piatu yang dirawat dan dibesarkan oleh laki-laki miskin. Gadis penderita leukemia yang memutuskan melepaskan biaya pengobatan senilai 540.000 Dollar, Kalimat terakhir yang ia tinggalkan dalam surat wasiatnya adalah, "Saya pernah datang dan saya sangat patuh". 

Sejak lahir dia tidak pernah mengetahui siapa kedua orang tua kandungnya. Dia hanya memiliki seorang ayah angkat yang memungutnya dari sebuah lapangan rumput. Seorang pria miskin berusia 30 tahun. Karena miskin, tak ada perempuan yang mau menikah dengannya.30 November 1996, adalah saat dimana pria miskin tersebut menemukan bayi yang sedang kedinginan diatas hamparan rumput. Diatas dadanya terdapat selembar kartu kecil tertuliskan tanggal, "20 November jam 12".

Ketika ditemukan, suara tangisnya sudah melemah. Pria tersebut khawatir jika tak ada yang memperhatikannya, maka bayi tersebut akan mati kedinginan. Ia memutuskan untuk memungutnya. Dengan berat hati karena takut tak dapat menghidupinya kelak karena kemiskinannya, ia memeluk bayi tersebut sambil berkata "apa yang saya makan, itulah yang kamu makan". Kemudian ia memutuskan untuk merawat bayi tersebut dan memberinya nama Yu Yan.

Yu Yan akhirnya dirawat dan dibesarkan oleh seorang pria lajang dan miskin yang tak mampu membeli susu. Yu Yan hanya diberi minum air tajin (air hasil cucia beras). Keadaan yang berat tersebut membuat Yu Yan tumbuh menjadi anak yang lemah dan sakit-sakitan karena kurangnya asupan gizi. Namun Yu Yan adalah anak yang sangat penurut dan patuh.

Musim silih berganti, Yu Yuan pun bertambah besar dan memiliki kepintaran yang luar biasa. Para tetangga sering memuji Yu Yuan sangat pintar, mereka sangat menyukai Yu Yan, meskipun ia sering sakit-sakitan. Yu Yan tumbuh ditengah kekhawatiran ayahnya.

Yu Yuan sadar dia berbeda dengan anak-anak lain. Teman-temannya memiliki sepasang orang tua, sedangkan dia hanya memiliki seorang ayah angkat. Dia sadar bahwa ia harus menjadi anak yang penurut dan tidak boleh membuat ayahnya sedih.

Yu Yan sangat mengerti bahwa dia harus giat belajar dan menjadi juara di sekolah agar ayahnya yang tidak pernah sekolah bisa merasa bangga. Dia tidak pernah mengecewakan ayahnya. Yu Yan sering bernyanyi untuk ayahnya. Semua hal lucu yang terjadi di sekolahnya di ceritakan kepada ayahnya. Senyum sang ayahlah yang bisa membuatnya bahagia.

Pada suatu pagi di bulan Mei 2005, ketika Yu Yuan sedang membasuh mukanya, ia terkejut karena air bekas basuhan mukanya berubah menjadi berwarna merah akibat darah yang menetes dari hidungnya. Darah dari hidungnya terus mengalir tanpa bisa dihentikan.

Ayahnyan segera melarikan Yu Yan ke puskesmas untuk mendapat pertolongan dokter. Dipuskesmas ia diberi suntikan sebagai pertolongan awal. Namun ternyata dari bekas suntikan tersebut juga mengeluarkan darah yang terus mengalir diikuti dengan munculnya bintik-bintik merah dipahanya. Sang dokter menyarankan ayahnya untuk membawa Yu Yan kerumah sakit.Sesampainya dirumah sakit Yu Yan dan ayahnya masih harus menunggu karena tak mendapat nomor antrian. Selama menunggu, darah dari hidung Yu Yan terus mengalir. Ia hanya bisa menunggu dikursi panjang ruang tunggu sambil menutup hidungnya agar darahnya tidak mengotori lantai. Tetapi banyaknya darah yang keluar tak bisa dhentikan dan mulai mengotori lantai sehingga perlu tampung dalam sebuah baskom. Dalam waktu singkat, baskom tersebut telah dipenuhi oleh darah Yu Yan.

Dokter yang melihat keadaan ini cepat-cepat membawa Yu Yuan untuk diperiksa. Setelah didiagnosa, dokter menyatakan bahwa Yu Yuan terkena Leukimia ganas. Pengobatan penyakit tersebut sedikitnya membutuhkan biaya sebesar 300.000 $. Ayahnya mulai cemas melihat anaknya yang terbaring lemah di ranjang. Ia hanya hanya ingin menyelamatkan anaknya. Ayahnya berusaha mencari pinjaman dari saudara-saudaranya. Setelah jerih payah yang dilakukan, uang yang ia peroleh jumlahnya sangat sedikit. Ia memutuskan untuk menjual rumahnya. Namun sangat sulit untuk menjual rumahnya yang kumuh dalam waktu cepat.

Beban pikiran yang ditanggung membuat ayah Yu Yan semakin kurus. Kesedihannya terlihat oleh Yu Yan. Melihat keadaan ayahnya, Yu Yan menjadi sangat sedih. Diruang perawatan, ia menatap ayahnya dan menggenggam tangan sang ayah bermaksud mengatakan sesuatu kepada yahnya. Air mata Yu Yan mulai menetes. Bibirnya bergetar. "Ayah, saya ingin mati" kata Yu Yan dengan suara yang sangat lemah. Ayahnya terkejut mendengar apa yang dikatakan anak angkatnya itu. "Kamu masih terlalu muda, kenapa kamu ingn mati sayang?". "Aku hanya anak yang dipungut dari lapagan rumput. Nyawaku tak berharga. Biarlah aku keluar dari rumah sakit ini".

Karena keadaan yang teramat sulit, dengan terpaksa ayahnya menyetuji permintaan anaknya. Sadar dengan sisa hidupnya yang singkat, gadis yang masih berusia delapan tahun itupun mempersiapkan segala sesuatu yang berhubungan dengan pemakaman untuk dirinya.

Sejak kecil Yu Yan tak pernah menuntut apapun pada ayahnya. Namun hari itu, setelah ia keluat rumah sakit ia mengajukan beberapa permintaan kepada ayahnya. Ia ingin mengenakan baju baru dan berfoto dengan ayahnya. Sang ayah memenuhi permintaan Yu Yan, ia membelikan baju baru untuk anaknya itu dan pergi ke studio foto untuk berfoto bersama anaknya.

Dengan baju barunya Yu Yan berpose bersama ayahnya. Dalam sakit yang dideritanya Yu Yan berusaha tersenyum sambil menahan air matanya yang menetes mebasahi pipi. "Kalau ayah meridukanku setelah aku tidak ada, lihatlah foto ini", ujar Yu Yan kepada ayahnya.

Berita tentang Yu Yan pun meluas sampai akhirnya terdengar oleh seorang wartawati bernama Chun Yuan. Berkat laporan yang ditulis di surat kabar tempat wartawati itu bekerja, cerita tentang anak yang mempersiapkan pemakamannya sendiri itu dengan cepat tersebar keseluruh kota Rong Cheng. Banyak orang tergugah dengan pemberitaan di surat kabar tersebut. Kabar tentang Yu Yan akhirnya tersebar hingga keseluruh dunia. Orang-orang yang mengetahui cerita tentang Yu Yan mulai menyebarkan email kebanyak orang diselurh dunia untuk menggalang dana.

Hanya dalam waktu sepuluh hari, dari perkumpulan orang Chinese didunia saja telah terkumpul 560.000 dolar. Biaya operasi pun telah tercukupi. Titik kehidupan Yu Yuan sekali lagi dihidupkan oleh cinta kasih semua orang.

Sumbangan dana masih terus mengalir dari segala penjuru dunia meskipun pengumuman dihentikannya penggalangan dana telah disebarkan.




Pada tanggal 21 Juni, Yu Yuan akhirnya dibawa kembali ke ibu kota. Dana yang sudah terkumpul, membuat jiwa yang lemah ini memiliki harapan dan alasan untuk terus bertahan hidup. Yu Yuan akhirnya menerima pengobatan. Dokter Shii Min yang menangani Yu Yan memintanya untuk menjadi anak perermpuannya. Air mata Yu Yuan pun mengalir deras karena merasa bahagia.

Hari kedua saat dokter Shii Min datang, Yu Yuan dengan malu-malu memanggilnya Mama. Suara itu, Shii Min kaget, ia tersenyum sambil berkata, "Anak yang baik".

Semua orang mendambakan sebuah keajaiban dan menunggu momen dimana Yu Yuan hidup dan sembuh kembali. Banyak masyarakat datang untuk menjenguk Yu Yuan. Banyak juga orang yang menanyakan kabar Yu Yuan melalui email. Selama dua bulan Yu Yuan melakukan terapi. Fisik Yu Yan semakin lemah.

Yu Yuan pernah bertanya kepada Fu Yuan, seorang wartawti, "Tante kenapa mereka mau menyumbang uang untuk saya? Wartawati tersebut menjawab, karena mereka semua adalah orang yang baik hati". "Tante saya juga mau menjadi orang yang baik hati" ujar Yu Yan. Dari bawah bantal tidurnya gadis kecil itu mengambil sebuah buku, dan diberikan kepada Fu Yuan. "Tante ini adalah surat wasiat saya."

Fu yuan kaget setelah mebaca surat wasiat dari Yu Yan. Ternyata gadis tak berdaya itu telah mempersiapkan pemakamannya sendiri. Seorang anak berumur delapan tahun yang sedang menghadapi kematian menulis tiga halaman surat wasiat yang dibagi menjadi enam bagian.


Lewat surat wasiatnya itu YuYan menyampaikan rasa terimakasih sekaligus megucapkan selamat tinggal kepada semua orang yang telah sangat peduli dengan keadaanya. Kalimat terakhir dalam surat wasiat tersebut berbunyi, "Sampai jumpa tante, kita berjumpa lagi dalam mimpi. Tolong jaga papa saya. Dan sedikit dari dana pengobatan ini bisa dibsumbangkan untuk sekolah saya. Dan katakana kepada pemimpin palang merah, Setelah saya meninggal, sisa biaya pengobatan itu dibagikan kepada orang-orang yang sakit seperti saya agar mereka lekas sembuh". Surat wasiat ini membuat Fu Yuan tidak bisa menahan tangis yang membasahi pipinya. "Saya pernah datang, saya sangat patuh", itulah kata-kata terakhir yang keluar dari bibir Yu Yuan.


Pada tanggal 22 agustus, akibat pendarahan dibagian pencernaan Yu Yuan tidak bisa makan dan hanya mengandalkan infus untuk bertahan hidup. Yu Yuan yang telah menderita karena penyakitnya itu akhirnya menutup mata untuk selamanya. Berita ini merupaka pukulan bagi banyak orang yang mengharapkan kesembuhan Yu Yan.

Diatas batu nisannya tertulis, "Aku pernah datang dan aku sangat patuh" (30 nov 1996- 22 agus 2005). Dan dibelakangnya terukir riwayat hidup Yu Yuan.

Sesuai pesan Yu Yuan, sisa dana sebesar 540.000 dolar tersebut disumbangkan kepada anak-anak penderita luekimia lainnya. Mereka adalah anak-anak miskin yang berjuang melawan kematian.

Teruskan cerita ini kepada teman-teman Anda agar dapat menjadi inspirasi buat mereka.